23 Mei 2025 - 17:38
Yaman Utara dan Suriah: Dua Jalan, Dua Wajah, dan Ujian Ketulusan Perlawanan

Dalam keterbatasan, blokade, kemiskinan, dan serangan brutal dari koalisi Saudi-Emirat yang didukung Barat, rakyat Yaman di wilayah utara justru bangkit dengan martabat. Di saat negara-negara Arab lain memilih netral, bungkam, atau bahkan ikut serta dalam pembantaian terhadap rakyat Palestina, Yaman Utara di bawah Ansharullah justru berdiri paling depan dalam membela Al-Quds.

Di zaman penuh manipulasi ini, jargon jihad dan pembelaan umat sering kali hanya menjadi alat pencitraan. Banyak kelompok dan negara mengibarkan bendera agama, meneriakkan pembebasan umat, tapi di baliknya tersembunyi ambisi kekuasaan dan kenyamanan dunia. Dua medan konflik yang paling menyingkap wajah asli "perlawanan" adalah Suriah dan Yaman. Keduanya sama-sama berada dalam krisis, namun memancarkan pesan yang sangat berbeda. Yaman Utara membuktikan bahwa perlawanan sejati tidak lahir dari mimpi-mimpi kekhalifahan, tapi dari keteguhan membela yang tertindas, tanpa pamrih.

_________________________________________________

Yaman Utara dan Suriah: Dua Jalan, Dua Wajah, dan Ujian Ketulusan Perlawanan Ismail Amin, M.A.

 Mahasiswa S3 Universitas Internasional Almustafa Iran 

 Jurnalis dan pengamat isu Timur Tengah

 aktif menulis tentang Palestina, perlawanan, dan dinamika dunia Islam

 

 

_________________________________________________

Yaman Utara: Poros Arab yang Sejati

Dalam keterbatasan, blokade, kemiskinan, dan serangan brutal dari koalisi Saudi-Emirat yang didukung Barat, rakyat Yaman di wilayah utara justru bangkit dengan martabat. Di saat negara-negara Arab lain memilih netral, bungkam, atau bahkan ikut serta dalam pembantaian terhadap rakyat Palestina, Yaman Utara di bawah Ansharullah justru berdiri paling depan dalam membela Al-Quds.

Tanpa dukungan internasional, tanpa logistik canggih, tanpa janji kenikmatan dunia, mereka menghadang kapal-kapal yang terafiliasi dengan Israel di Laut Merah. Tindakan mereka bukan hanya simbolik, tapi nyata: mengganggu jalur suplai senjata ke penjajah, menekan ekonomi Zionis, dan memaksa dunia kembali menoleh pada tragedi Palestina.

Perlawanan sejati tidak lahir dari iming-iming duniawi. Ia tumbuh dari luka, dari reruntuhan rumah yang diserang bom, dari tubuh anak-anak yang tertimbun puing, dari tanah yang dijarah, dan dari keyakinan bahwa kehormatan lebih berharga daripada hidup dalam tunduk kepada penjajah. Dan karena itulah, Yaman Utara menjadi simbol perlawanan paling tulus di zaman ini. Tidak ada gaji bagi pejuang Yaman. Tidak ada rumah aman, tidak ada negara-negara besar yang menyokong. Yang ada hanya kehancuran. Tapi justru dari situ muncul kemuliaan dan keberanian yang menggetarkan dunia. Mereka bergerak karena menyadari bahwa diam adalah pengkhianatan. Dalam isolasi dan penderitaan, Yaman justru memperlihatkan wajah paling jujur dari semangat perlawanan Islam. 

Suriah: Jihad yang Tergelincir Jadi Alat Kekuasaan

Bandingkan dengan proyek besar yang disebut “jihad Suriah” oleh kelompok-kelompok yang didukung jaringan internasional beberapa tahun lalu. Ketika ISIS, Jabhat al-Nusra (yang kemudian bertransformasi menjadi HTS), dan kelompok-kelompok serupa berkampanye tentang “kekhalifahan”, “negara Islam”, "penggulingan thagut" dan janji kesejahteraan, ribuan orang berbondong-bondong menuju Suriah. Mereka datang bukan karena murni mencintai rakyat Suriah, tapi karena dijanjikan kehidupan yang lebih baik—rumah, uang, perempuan (bisa beristri banyak) dan kekuasaan.

Dan memang ada kekuatan besar yang memfasilitasi jalannya mereka masuk Suriah. Jalur-jalur perbatasan dibuka. Visa dan logistik dipermudah. Karena memang proyek ini bukan proyek untuk membela umat, tetapi untuk menghancurkan satu poros penting perlawanan terhadap Zionis: Suriah. Hancurkan Suriah, maka jalur dukungan terhadap Palestina akan lumpuh. Itu skenario mereka.

Kini, setelah Assad tumbang, namun apa hasilnya? Bukan demokrasi atau keadilan yang hadir. Suriah yang kini dikuasai HTS justru menjelma menjadi alat baru dari poros Teluk yang menjadi sekutu utama Amerika Serikat. Pemimpin mereka, Abu Muhammad al-Jolani, yang dulu dielu-elukan sebagai mujahid, kini duduk berdasi, melakukan pertemuan dengan pejabat-pejabat Amerika dan Eropa, bahkan mempersiapkan jalan menuju normalisasi hubungan dengan Israel—suatu pengkhianatan yang bahkan tidak dibayangkan oleh para pendukungnya dulu.. Inikah hasil dari jihad yang dulu dipromosikan dengan air mata dan darah?

Kontras yang Menyakitkan

Hari ini, Yaman yang miskin dan terisolasi justru paling konsisten membela Palestina, sementara Suriah di bawah Jolani malah sibuk membangun bisnis dengan AS dan negara-negara sekutunya. Ketika Houthi dengan semua keterbatasannya membela Palestina dengan memblokade Laut Merah agar suplay senjata tidak bisa masuk ke Israel, negara-negara Teluk yang kaya malah membuka jalur darat agar bantuan senjata dan amunisi bisa sampai ke Tel Aviv.  Ketika dunia menyerukan boikot terhadap produk-produk pendukung penjajahan, Saudi, UEA, dan Qatar justru mengucurkan miliaran dolar investasi ke Amerika, menyelamatkan ekonominya, dan memungkinkan mesin militer Zionis tetap menggiling darah anak-anak Palestina. Ketika Yaman diblokade dan disanksi, Jolani dengan senyum sumringah menyambut pencabutan sanksi atas Suriah.

Ironisnya, buzzer dan media mereka aktif menyebar isu sektarian, mencaci kelompok-kelompok perlawanan, menyudutkan Iran, Hizbullah, Houthi Yaman dan memfitnah siapa pun yang benar-benar berbuat untuk Palestina. Mereka lebih sibuk menjaga jenggot dan celana cingkrang, tapi lidah mereka menghujat sesama muslim, dan tangan mereka diam saat saudara-saudara kita dibantai.

Yaman, Benteng Terakhir Kehormatan Arab

Jika ada yang pantas disebut sebagai “Arab sejati” hari ini, maka itu adalah rakyat Yaman Utara. Mereka tidak punya minyak, tidak punya kekuasaan, tapi mereka punya kehormatan dan keberanian untuk menentang penindasan. Sementara sebagian besar dunia Arab tenggelam dalam kenyamanan, Yaman memilih berdiri tegak di barisan perlawanan.

Ketika sejarah menulis kisah perlawanan umat, nama Yaman tidak akan ditulis karena kekuatannya, tapi karena ketulusannya. Mereka tidak pernah menjual diri, tidak tergoda dunia, dan tetap konsisten membela yang tertindas. Mereka adalah suara terakhir dari hati nurani umat yang nyaris padam. Mereka tidak pernah minta donasi, apalagi mengiming-imingi pemuda muslim dari berbagai negara dengan jihad nikah.

Dan Suriah di bawah HTS? Akan dicatat sebagai peringatan pahit tentang bagaimana semangat jihad bisa diselewengkan, dan bagaimana mimpi kekhalifahan bisa berujung menjadi alat normalisasi dengan musuh Allah dan Rasul-Nya.

Your Comment

You are replying to: .
captcha